Selasa, 12 Maret 2013

Gen Selingkuh, Kedaluwarsa Cinta, dan Mitos Lainnya

By Kayt Sukel for HowAboutWe 


Banyak dari kita ingin tahu lebih jauh mengenai seluk-beluk cinta. Sekarang ilmu saraf mulai menjawab beberapa pertanyaan yang dulunya hanya bisa dibahas para pujangga dan filsuf. Simaklah penjelasan sains mengenai dua hal yang berkaitan erat: cinta dan seks. 

“Bakat selingkuh ada dalam gen.”
Para peneliti di Karolinska Institute di Swedia menemukan, laki-laki yang memiliki variasi gen reseptor vasopressin tertentu memang cenderung mengalami masalah pernikahan.

Para peneliti benar-benar menemukan hubungan kuat antara lelaki yang memiliki 334 varian AVPR1A, sebuah gen yang berurusan dengan reseptor vasopressin. Studi sebelumnya terhadap hewan telah menunjukkan bahwa densitas reseptor vasopressin di wilayah otak tertentu memang berkaitan dengan perilaku monogami. Tetapi ada dua pertanyaan menyangkut temuan itu. Satu: tidak ada perilaku yang bisa dipicu oleh satu gen saja. Dua (dan mungkin lebih penting): peneliti di Karolinska tidak pernah bertanya langsung kepada para peserta penelitian mengenai perselingkuhan. Oops.

“Sperma adalah antidepresan alami.”
Gordon Gallup, seorang peneliti di University of Albany, menemukan bahwa wanita yang bercinta tanpa kondom merasa lebih bahagia. Gallup berteori, mungkin sperma merupakan antidepresan alami.

Tetapi tidak sesederhana yang ada di pikiran Gordon. Hanya karena A berkaitan dengan B, dan B berkaitan dengan C, belum tentu A berarti berkaitan dengan C. Lebih dari itu, ada banyak hal yang tidak diteliti Gordon, misalnya alasan para wanita itu tidak memakai kondom.

Mereka mungkin saja tidak memakai kondom karena alasan agama, atau sedang berada dalam hubungan monogami yang bahagia, atau alasan lain.

“Pria dan wanita tidak bisa hanya berteman — pasti ada ketertarikan seksual.”

Para peneliti di University of Wisconsin Eau Claire bertanya kepada beberapa mahasiswa (yang punya teman dekat beda jenis kelamin) mengenai persahabatan dan romansa. Mereka menemukan bahwa, meski mereka sedang pacaran dengan orang lain, mereka tetap punya ketertarikan seksual yang tinggi terhadap teman wanita mereka. Mereka juga mengira teman wanita itu juga tertarik.

Gagasan persahabatan murni antara pria dan wanita telah berulang-ulang-ulang kali diperdebatkan. Masalah terbesar dari survei ini adalah sampel yang dipilih. Saya tidak yakin, pendapat mahasiswa mengenai persahabatan dan romansa dapat mewakili pendapat dunia secara keseluruhan.

“Cinta sejati hanya bertahan maksimal dua tahun.” 

Selama sepuluh tahun terakhir, ada beberapa studi yang mengatakan bahwa cinta bertahan paling lama dua tahun. Donatella Marrazitti, seorang peneliti di University of Pisa, menemukan kadar zat kimia di otak seperti oksitosin, testosteron, dan neurotrofin meningkat ketika seseorang jatuh cinta. Tetapi setelah dua tahun, kadar itu kembali normal. Arthur Aron dari SUNY Stony Brook, menemukan gejala serupa.

Perubahan itu tidak berarti cinta tidak bisa abadi. Mungkin saja, pada manusia, dua tahun adalah jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengukuhkan ikatan antara dua orang. Sekali lagi, ini merupakan studi kaitan jadi sulit diketahui penyebabnya. Ada studi lain yang menunjukkan cinta sejati bisa bertahan, lebih lama dari dua tahun. Tetapi masih belum jelas mengapa ada juga hubungan yang layu seiring berkembang.





| Free Bussines? |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

fb comments